AWAL KEBANGKITAN MATARAM
Setelah meninggalnya Trenggono, takhta Demak menjadi rebutan tiga tokoh yang mewakili tiga generasi.
Yang pertama adalah Penangsang sebagai cucu Raden Patah. Yang kedua adalah Joko Tingkir, sebagai menantu Sultan Trenggono. Dan yang ketiga adalah Ki Ageng Pemanahan, sebagai penerus Majapahit.
Begitulah yang kutangkap dari pembacaan atas buku “Awal Kebangkitan Mataram” karya HJ de Graaf. Buku yang menceritakan tentang masa pemerintahan Panembahan Senopati, setelah Demak hancur dan Pajang pun runtuh. Sebuah kemenangan gemilang yang bermula dari direbutnya takhta Demak oleh Joko Tingkir atas Penangsang.
Penangsang adalah pewaris yang syah atas Demak, karena dialah cucu dari Raden Patah. Yang dalam aturan suksesi kepemimpinan, sangat berhak atas takhta, karena meneruskan jalur ayahnya, Pangeran Sekar Sedo Lepen. Dan sebagai murid Sunan Kudus, Penangsang memang dipersiapkan menjadi pelanjut Demak sebagai kekhalifahan Islam di Jawa.
Dengan pemahaman dan pengamalan Islam yang lurus, Demak di tangan Penangsang akan menjadi kerajaan Islam yang tegak seperti jaman Raden Patah berkuasa. Dengan “Kitab Salokantara” yang telah menjadi acuan tata aturan kerajaan yang berdasarkan syariat Islam, yang membuat kekuasaan raja pun tetap dikawal oleh permusyawaratan ulama.
Namun maksud itu dihadang dengan ambisi Joko Tingkir yang dendam pada Demak. Sebab kerajaan Pengging peninggalan ayahnya, Kebo Kenongo, runtuh setelah Raden Patah memintanya tunduk. Kerajaan peninggalan Prabu Balawardhana yang telah ada jauh sebelum Majapahit berdiri. Sebuah kerajaan yang pada pemerintahan Prabu Handayaningrat juga menjadi kelanjutan pecahan Majapahit.
Joko Tingkir berambisi untuk merebut takhta Demak untuk melanjutkan kejayaan Pengging, yang juga merupakan penerus Majapahit. Karena dari silsilah, Joko Tingkir adalah anak dari Kebo Kenongo. Sementara Kebo Kenongo adalah putra dari Handayaningrat dengan istri Putri Pembayun, putri Majapahit. Seorang perempuan yang menjadi hadiah bagi Handayaningrat atas jasanya pada Majapahit dalam menaklukan Blambangan dan Bali.
Sebagai keturunan Majapahit dari jalur putri Pembayun, Joko Tingkir merasa leluhurnya lebih berderajat untuk melanjutkan Majapahit dibandingkan dengan leluhur Demak. Karena Raden Patah adalah anak dari istri Raja Majapahit yang telah dibuang ke Palembang.
Dengan dalih itulah, Joko Tingkir merasa lebih berhak meneruskan kegemilangan Majapahit, yang setelah runtuh digantikan oleh Demak. Maka jalan satu-satunya adalah dengan merebut takhta Demak, untuk membangkitkan kembali kerajaan Pengging, dengan semangat kejayaan Majapahit.
Dan ia bisa melakukan perebutan itu, dengan masuk menjadi keluarga Demak. Yakni dengan menjadi menantu Sultan Trenggono. Maka setelah Trenggono meninggal, kesempatan itu pun ia gunakan untuk mewujudkan mimpinya, sebagai pemegang tampuk atas Demak. Yang dengan itu, ia harus menghilangkan pesaing utamanya, yakni Penangsang.
Namun di antara perebutan takhta oleh Penangsang dan Joko Tingkir, sebenarnya ada pemain satu lagi yang juga berniat untuk meruntuhkan Demak. Dengan tujuan yang sama pula untuk mengembalikan kegemilangan Majapahit. Tokoh yang tak terlihat jelas kasat mata adalah Ki Ageng Pemanahan. Tokoh ini pun merasa berhak untuk merebut takhta Demak, karena leluhurnya pun merupakan anak dari Raja Majapahit.
Adalah Bondan Kejawen, seorang putra Brawijaya dari putri Wandan yang telah melahirkan anak bernama Getas Pendawa. Dari Getas Pendawa melahirkan Ki Ageng Selo, yang tak lain adalah ayah dari Ki Ageng Pemanahan. Tokoh ini merasa lebih berhak, karena dibanding leluhur Joko Tingkir dan Penangsang, leluhurnya adalah keturunan laki-laki, yakni Bondan Kejawen. Hingga dalam “Babad Tanah Jawi” kita akan temukan kisah yang menonjolkan leluhur dan keturunan Pemanahan. Menonjolkan kisah Bondan Kejawen dan juga Panembahan Senopati.
Dalam kisah yang merupakan legitimasi tersebut, diceritakan bahwa Bonda Kejawen diramalkan akan mendatangkan bahaya, hinggga harus dibunuh pada waktu bayi. Namun dengan pertolongan Ki Buyut Masahar, Bondan Kejawen bisa lolos dari kematian. Bahkan kemudian diaku kembali sebagai anak dari Raja Majapahit dengan gelar Lembu Peteng.
Demikian juga dengan cerita tentang Panembahan Senopati,yang untuk menunjukan kehebatannya, dialah yang dijagokan dalam perang melawan Penangsang. Bahkan Senopati pula yang berhasil membunuh Penangsang dengan tipu muslihat dari Juru Mertani dan Pemanahan.
Dan kisah legitimasi itu berlanjut ketika berpadu dengan ramalan Sunan Giri yang menceritaka bahwa keturunan Pemanahan lah yang akan menjadi penguasa atas Tanah Jawa. Juga pertemuannya dengan Sunan Kalijaga di Kembang Lampir, ketika tanah Mentaok tidak juga diberikan oleh Joko Tingkir, sebagai bentuk kekhawatiran atas ramalan Sunan Giri.
oleh Nassirun Purwokartun pada 8 Agustus 2011 pukul 22:35