Tag Archives: raden patah

Buka Buku 36: Persaingan Penangsang-Joko Tingkir-Pemanahan

Standar

 

AWAL KEBANGKITAN MATARAM

Setelah meninggalnya Trenggono, takhta Demak menjadi rebutan tiga tokoh yang mewakili tiga generasi.

Yang pertama adalah Penangsang sebagai cucu Raden Patah. Yang kedua adalah Joko Tingkir, sebagai menantu Sultan Trenggono. Dan yang ketiga adalah Ki Ageng Pemanahan, sebagai penerus Majapahit.

Begitulah yang kutangkap dari pembacaan atas buku “Awal Kebangkitan Mataram” karya HJ de Graaf. Buku yang menceritakan tentang masa pemerintahan Panembahan Senopati, setelah Demak hancur dan Pajang pun runtuh. Sebuah kemenangan gemilang yang bermula dari direbutnya takhta Demak oleh Joko Tingkir atas Penangsang.

Penangsang adalah pewaris yang syah atas Demak, karena dialah cucu dari Raden Patah. Yang dalam aturan suksesi kepemimpinan, sangat berhak atas takhta, karena meneruskan jalur ayahnya, Pangeran Sekar Sedo Lepen. Dan sebagai murid Sunan Kudus, Penangsang memang dipersiapkan menjadi pelanjut Demak sebagai kekhalifahan Islam di Jawa.

Dengan pemahaman dan pengamalan Islam yang lurus, Demak di tangan Penangsang akan menjadi kerajaan Islam yang tegak seperti jaman Raden Patah berkuasa.  Dengan “Kitab Salokantara” yang telah menjadi acuan tata aturan kerajaan yang berdasarkan syariat Islam, yang membuat kekuasaan raja pun tetap dikawal oleh permusyawaratan ulama.

Namun maksud itu dihadang dengan ambisi Joko Tingkir yang dendam pada Demak. Sebab kerajaan Pengging peninggalan ayahnya, Kebo Kenongo, runtuh setelah Raden Patah memintanya tunduk. Kerajaan peninggalan Prabu Balawardhana yang telah ada jauh sebelum Majapahit berdiri. Sebuah kerajaan yang pada pemerintahan Prabu Handayaningrat juga menjadi kelanjutan pecahan Majapahit.

Joko Tingkir berambisi untuk merebut takhta Demak untuk melanjutkan kejayaan Pengging, yang juga merupakan penerus Majapahit. Karena dari silsilah, Joko Tingkir adalah anak dari Kebo Kenongo. Sementara Kebo Kenongo adalah putra dari Handayaningrat dengan istri Putri Pembayun, putri Majapahit. Seorang perempuan yang menjadi hadiah bagi Handayaningrat atas jasanya pada Majapahit dalam menaklukan Blambangan dan Bali.

Sebagai keturunan Majapahit dari jalur putri Pembayun, Joko Tingkir merasa leluhurnya lebih berderajat untuk melanjutkan Majapahit dibandingkan dengan leluhur Demak. Karena Raden Patah adalah anak dari istri Raja Majapahit yang telah dibuang ke Palembang.

Dengan dalih itulah, Joko Tingkir merasa lebih berhak meneruskan kegemilangan Majapahit, yang setelah runtuh digantikan oleh Demak. Maka jalan satu-satunya adalah dengan merebut takhta Demak, untuk membangkitkan kembali kerajaan Pengging, dengan semangat kejayaan Majapahit.

Dan ia bisa melakukan perebutan itu, dengan masuk menjadi keluarga Demak. Yakni dengan menjadi menantu Sultan Trenggono. Maka setelah Trenggono meninggal, kesempatan itu pun ia gunakan untuk mewujudkan mimpinya, sebagai pemegang tampuk atas Demak. Yang dengan itu, ia harus menghilangkan pesaing utamanya, yakni Penangsang.

Namun di antara perebutan takhta oleh Penangsang dan Joko Tingkir, sebenarnya ada pemain satu lagi yang juga berniat untuk meruntuhkan Demak. Dengan tujuan yang sama pula untuk mengembalikan kegemilangan Majapahit. Tokoh yang tak terlihat jelas kasat mata adalah Ki Ageng Pemanahan. Tokoh ini pun merasa berhak untuk merebut takhta Demak, karena leluhurnya pun merupakan anak dari Raja Majapahit.

Adalah Bondan Kejawen, seorang putra Brawijaya dari putri Wandan yang telah melahirkan anak bernama Getas Pendawa. Dari Getas Pendawa melahirkan Ki Ageng Selo, yang tak lain adalah ayah dari Ki Ageng Pemanahan. Tokoh ini merasa lebih berhak, karena dibanding leluhur Joko Tingkir dan Penangsang, leluhurnya adalah keturunan laki-laki, yakni Bondan Kejawen. Hingga dalam “Babad Tanah Jawi” kita akan temukan kisah yang menonjolkan leluhur dan keturunan Pemanahan. Menonjolkan kisah Bondan Kejawen dan juga Panembahan Senopati.

Dalam kisah yang merupakan legitimasi tersebut, diceritakan bahwa Bonda Kejawen diramalkan akan mendatangkan bahaya, hinggga harus dibunuh pada waktu bayi. Namun dengan pertolongan Ki Buyut Masahar, Bondan Kejawen bisa lolos dari kematian. Bahkan kemudian diaku kembali sebagai anak dari Raja Majapahit dengan gelar Lembu Peteng.

Demikian juga dengan cerita tentang Panembahan Senopati,yang untuk menunjukan kehebatannya, dialah yang dijagokan dalam perang melawan Penangsang. Bahkan Senopati pula yang berhasil membunuh Penangsang dengan tipu muslihat dari Juru Mertani dan Pemanahan.

Dan kisah legitimasi itu berlanjut ketika berpadu dengan ramalan Sunan Giri yang menceritaka bahwa keturunan Pemanahan lah yang akan menjadi penguasa atas Tanah Jawa. Juga pertemuannya dengan Sunan Kalijaga di Kembang Lampir, ketika tanah Mentaok tidak juga diberikan oleh Joko Tingkir, sebagai bentuk kekhawatiran atas ramalan Sunan Giri.

oleh Nassirun Purwokartun pada 8 Agustus 2011 pukul 22:35

Buka Buku 35: Inspirasi Demak Untuk Indonesia

Standar

 

KERAJAAN ISLAM PERTAMA DI JAWA

Sepertinya, kebijakan pemerintahan Demak dari Raden Patah, ke Pati Unus, sampai Trenggono hanya untuk memperkokoh kekuasaan Demak. Namun secara tidak langsung, sebenarnya telah memberikan inspirasi tentang daulat hukum dan sikap anti penjajahan pada bangsa Indonesia di kelak kemudian hari.

Raden Patah sang raja pertama, telah berhasil mendirikan Demak sebagai kekhalifahan Islam di pulau Jawa. Dengan Sunan Giri sebagai pemimpin Waliyyul Amri, Raden Patah selaku Ulil Amri berhasil menyusun kitab undang-undang “Salokantara”. Sebuah aturan hukum dan ketatanegaraan yang menjadi acuan jalannya pemerintahan Demak.

Kitab undang-undang yang berlandaskan syariah Islam, yang mengakui bahwa semua manusia sama derajatnya, sebagai khalifah Allah di dunia.  Hingga dengan begitu, rakyat tak lagi sebagai kawula yang hanya tunduk patuh para raja, namun juga mempunyai jaminan kepastian hukum yang adil untuk mereka.

Dan dengan bersandar pada Kitab Salokantara tersebut, raja-raja Demak juga secara sadar dan ikhlash dikontrol oleh kekuasaan Waliyyul Amri. Bahwa jalannya pemerintahan tidak berada dalam genggaman tangan seorang raja yang merasa sebagai titisan Dewa, hingga merasa selalu benar dan tak pernah salah. Dengan kepastian hukum itu, Demak telah memperkenalkan daulat hukum dan menjalankannya.

Setelah Raden Patah wafat, kekuasan Demak turun pada Pati Unus. Dengan pondasi kekuasaan yang telah kokoh, Demak mulai memperhitungkan keberadaanya. Sebagai kerajaan terbesar di Jawa, Demak yang saat itu merasa terancam oleh Portugis yang tengah menjajah Malaka, mengadakan perlawanan.

Penyerbuan dua kali yang dilancarkan Pati Unus dalam masa pemerintahannya yang hanya 3 tahun, adalah bukti bahwa Demak mempunyai armada laut yang perkasa. Yang meskipun tak berhasil mengusir Portugis, namun mampu memporak-porandakan pertahanan mereka. Dan dengan serangan itu, Portugis mengalami kerugin besar. Sebuah kenyataan pula, bahwa Demak telah melakukan perlawanan dan penolakan terhadap segala bentuk penjajahan di atas dunia.

Dan perlawanan terhadap Portugis pun tetap dilakukan Demak pada masa pemerintahan Trenggono. Hanya kebijakannya berbeda. Kalau Pati Unus menggempur Portugis di Malaka, Trenggono lebih menekankan pada pertahanan di Jawa. Hingga seluruh pesisir utara, dari Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Gresik, Tuban, Pasuruan, dan Panarukan hendak dijadikan pertahanan Demak untuk membendung masuknya Portugis ke Jawa.

Banten dan Sunda Kelapa, sebagai pelabuhan utama kerajaan Pajajaran yang hendak bekerja sama dengan Portugis, telah berhasil ditundukkan. Berkat serbuan prajurit Demak yang dipimpin Fatahillah, dan dibantu laskar santri Cirebon pimpinan Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin. Kemudian, dengan runtuhnya Majapahit, Tuban dan Gresik yang dulu menjadi Bandar utama Majapahit pun telah berada dalam kekuasaan Demak.

Hanya tinggal Pasuruan dan Panarukan di ujung timur pulau Jawa, yang merupakan pelabuhan utama Blambangan yang belum berada dalam genggaman Demak. Hingga di akhir kekuassan Trenggono, armada perang Demak kembali diberangkatkan dengan panglima utamanya, Fatahillah. Benteng Pasuruwan telah berhasil dikuasai, setelah peperangan panjang selama tiga bulan. Namun ketika hendak menyerbu Panarukan, Demak mengalami kekalahan sebab mendadak Sultan Trenggono terbunuh. Hingga cita-citanya mengamankan pulau Jawa dari barat sampai ke timur gagal dilaksanakan.

Begitulah yang kudapatkan dari buku “Kerajaan Islam Petama di Jawa” karya HJ. De Graaf dan Pigeaud, dua tokoh besar sejarah Jawa. Sebuah buku yang kemudian menjadi referensi utamaku dalam menulis novel Penangsang. Karena memang buku itu mengulas tuntas tentang tinjauan sejarah politik abad XVI dan XVI.

Dan sepertinya, buku itulah yang paling lengkap dalam menuturkan Demak. Sejak kemunculannya hingga keruntuhannya. Sejak Raden Patah dilantik menjadi Sultan, hingga Trenggono terbunuh di Panarukan. Sebuah kekuasaan yang tak lebih dari satu abad. Namun telah mengukir sejarah indah tentang kekuasaan yang berlandaskan syariah agama Islam.

“Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun,” begitu Rendra pernah mengungkapkan kekagumannya dalam sebuah pidato kebudayaannya  yang berjudul ’Megatruh.’ “Namun mereka adalah pahlawan-pahlawan bangsa yang memperkenalkan daulat hukum kepada bangsanya, yang terus membekas sampai kepada Mohammad Syafei, Cokroaminoto, dan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia dewasa ini.”

oleh Nassirun Purwokartun pada 6 Agustus 2011 pukul 8:11