Buka Buku 33: Dari Ucapan Pedal, Walisanga Jadi Cina

Standar

 

MASYARAKAT ISLAM TIONGHOA DI INDONESIA

Pada tahun 1968, terbitlah buku berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara.”

Buku hasil karya Prof. Dr. Slamet Mulyana itu langsung menarik perhatian. Dengan menggunakan dokumen sejarah yang konon pernah disimpan di Klenteng Sam Po Kong Semarang, dan Klenteng Talang Cirebon, buku tersebut menyajikan kesimpulan bahwa Sultan Demak dan Walisanga adalah orang-orang keturunan Tionghoa.

Kesimpulan yang kemudian mengundang reaksi keras dari sebagian masyarakat Indonesia yang merasa tersinggung. Hingga dengan SK Jaksa Agung, tahun 1971 buku tersebut dilarang beredar. Sementara di kalangan sejarawan sendiri, buku tersebut mula-mula berhasil memikat banyak perhatian, hingga sering dipakai sebagai buku sumber acuan. Namun di belakang hari, ternyata telah muncul beberapa kritik mengenai buku tersebut. Terutama mengenai adanya dokumen-dokumen sejarah yang konon pernah tersimpan di Klenteng Sam Po Kong dan Klenteng Talang, yang justru telah menjadi basis kesimpulan oleh Prof. Slamet Mulyana.

Yang ternyata, dalam menyusun buku tersebut, belum pernah sekalipun melihat sendiri dokumen-dokumen sejarah itu. Prof  Slamet Mulyana hanya mengetahuinya dari buku “Tuanku Rao” karya Mangaraja Onggang Parlindungan, yang konon bersumber dari penelitian Residen Poortman.

Dan hasil penilitian tersebut telah menarik perhatian Denys Lombard, seorang orientalis Prancis, yang dalam cutinya telah memerlukan mencarinya ke Belanda. Hasilnya ternyata nihil. Bahkan putra mendiang Residen Poortman sendiri tidak tahu menahu mengenai naskah prasaran yang konon kabarnya pernah disampaikan oleh mendiang ayahnya yang berjumlah 5 eksemplar itu.

Di samping itu, Gedung Negara  Rijswijk yang disebut-sebut sebagai tempat menyimpan prasaran Residen Poorttman di Denhag, ternyata tidak ada. Yang ada hanyalah Algeemen Rijskarchief.

Dan seorang sejarawan lainnya, Prof. Dr. Sartono Kartodirjo juga sangat menyangsikan adanya dokumen sejarah yang konon pernah disimpan di Klenteng Sam Po Kong. Prof Sartono mempersoalkan, bagaimana mungkinnya sebalam lima abad, orang bisa menyimpan dokumen yang konon banyaknya hingga 3 cikar dalam klenteng itu. Sementara kenyataannya, di klenteng itu justru tidak terdapat ruangan atau gudang yang cukup luas untuk menyimpan dokumen sebanyak itu.

Dan jauh sebelumnya, dalam sebuah pertemuan di museum Radya Pustaka tahun 1956, KGPH Hadiwidjaya telah mengemukakan adanya pandangan tersebut di kalangan masyarakat Tionghoa.

“Bangsa Tionghoa ada yang berbalik sama sekali mengukuhi pendapat jika para Wali dan orang besar pada jaman kuno, sebenarnya bukan orang Jawa. Akan tetapi bangsa Tionghoa. Sebagai bukti kebenarannya bisa terlihat dari nama-namanya. Sunan Kalijaga, yang bernama asli Raden Sahid, adalah perkataan dari bahasa Tionghoa Sa-It (sa=3, it=1, adalah 31). Yakni peringatan kelahirannya, waktu ayahnya berusia 31 tahun. Sementara Sunan Bonang adalah Bo Bing Nang. Ki Ageng Gribib adalah Siauw Dji Bik. Dan Ki Ageng Pengging adalah Heng Pa Hing…”

Dan dalam penjelasan lanjutannya, KGPH Hadiwidjaya menilai bahwa “pengakuan orang Tionghoa  itu kasarannya hanya nekad-nekadan saja, yang terbit pada waktu belakangan. Jika dirasakan berasal dari ucapan yang pedal, waktu belum ada atau belum banyak orang Tionghoa peranakan.”

Itulah yang kudapatkan sebagai jawaban atas penasaranku, perihal Wali yang konon berkebangsaan Tionghoa. Penjelasan dari buku “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia” karya Amen Budiman, seorang pemerhati sejarah Semarang yang juga mempunyai banyak minat pada sejarah dan kebudayaan pesisiran.

Yang memberikan pendapat, bahwa karena ucapan pedallah, hingga akhirnya nama-nama Wali yang teramat meleset pengucapannya, diyakini orang-orang Tionghoa yang fanatik. Hingga kemudian  dianggap dan diakui jika semua Wali adalah bangsa Tionghoa.

oleh Nassirun Purwokartun pada 4 Agustus 2011 pukul 10:18

Tinggalkan komentar