Category Archives: Buka Buku 11 – 20

Buka Buku 20: Perang Salib Di Nusantara, Perang Dagang Dan Perang Agama

Standar

NUSANTARA, SEJARAH INDONESIA

Nusantara yang kaya rempah-rempah, telah membuat bangsa manca berebutan menjajah dan menjarah.  Dan Demak lah yang menghadangnya, ketika Portugis telah menjajah Malaka dan Spanyol tengah menjarah Maluku.

Menurut Slamet Mulyana, kedatangan Portugis di Asia, memang berbekal semangat Eropa pada penghujung abad 15. Sebagian di antara bangsa-bangsa Eropa, termasuk Portugis dan Spanyol waktu itu, sedang keranjingan agama Kristen. Semangat yang membuahkan kebencian pada semua bangsa-bangsa Islam, hingga menjadikannya musuh bersama yang harus ditumpas.

Paus Alexander IV melalui Warkat Bull Intercaetera yang ditetapkan pada 4 Mei 1493 memberi hak pada Portugis dan Spanyol untuk menguasai kepulauan-kepulauan yang dijumpainya dalam pelayaran. Maka dengan amanat suci itulah, Portugis melancarkan perang terbuka melawan kekuatan-kekuatan Islam di sepanjang pelayarannya, sejak Goa hingga Malaka.

Tujuan pelayaran yang semula hanya berdagang, kemudian berubah menjadi  melakukan ekspansi politik dan keagamaan. Portugis pun semakin beringas dalam perjalanan pelayarannya. Di bawah kepemimpinan Alfonso d’Alberquerqe, mereka menerapkan siasat berperang sambil berdagang. Bahkan dengan merampok kapal-kapal dagang Islam yang ditemuinya dalam pelayaran antara Goa dan Malaka. Dengan semangat misi suci menyebarkan agama, mereka menjadi punya sandaran untuk terus menghancurkan kekuatan Islam. Sebuah tindakan yang seolah mengulang kembali tragedi perang salib yang dulu terjadi di Laut Tengah, hanya dengan cara perang yang berbeda.

Dan dengan semangat itu pula, Kesultanan Malaka digempur dan dikuasai, demi memonopoli perdagangan di Asia. Bahkan kemudian menggempur Kesultanan Pasai, dan menjarah rempah-rempah dari Kesultanan Ternate di Maluku. Dan dengan segala cara mereka pun menggeser pedagang dari Jawa, terutama dari Demak, dalam perdagangan rempah-rempah di selat Malaka.

Bahwa memang tak dapat disangkal, bila faktor pendorong Portugis menyerang dan menghancurkan negeri-negeri Islam adalah karena semangat penyebaran agama mereka. Itu sebabnya, menurut Muller Kruger, pada layar kapal Portugis mereka pampangkan gambar salib. Mereka hendak menanamkan salib di sepanjang pelayaran mereka, sebagai bentuk Perang Salib kedua.

Senada dengan pendapat Kruger, K.M. Pannikar pun menyatakan bahwa tujuan utama Portugis adalah memang melemahkan kekuatan Islam. Alberque dalam pidatonya di depan serdadu-serdadunya secara tegas bahwa dengan menghancurkan pedagang-pedagang muslim dari perdagangan rempah-rempah, bangsa Portugis akan dapat menghisap kekuatan Islam.

Dan Demak sebagai kerajaan Islam di Jawa pun mengendus bahaya itu. Karena nusantara adalah penghasil rempah-rempah, dan Demak adalah pedagang yang banyak membawa ke Malaka. Maka mengetahui posisinya terancam secara pedagangan, politik, dan agama, Demak pun berencana mengusir Portugis dari Malaka.

Demikianlah kemudian kudapatkan, mengapa Demak begitu keras menentang keberadaan Portugis di Malaka. Hingga di masa pemerintahan Pati Unus telah 2 kali berusaha penyerbuan, dan 2 kali pula pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat.

Sebuah penjelasan yang sangat gamblang dari sebuah buku lama berjudul “Nusantara, Sejarah Indonesia. ” Buku yang pertama terbit tahun 1961 karya Bernard Vleke itu, pada bab 4 “Muslim dan Portugis”, memaparkan dengan tentang kebiadaban dan kerakusan Portugis.

Maka sepertinya, kita boleh saja mengagungkan Majapahit yang telah mahsyur sebagai pemersatu nusantara. Namun pada Demak, mestinya tidak kita lupakan keberadaannya. Karena justru, setelah runtuhnya Majapahit, Demaklah yang menjaga keamanan dan kedaulatan nusantara.

Demak lah yang pertama mempertahankan nusantara dari penjajahan dan penjarahan bangsa manca.

oleh Nassirun Purwokartun pada 25 Juli 2011 pukul 1:30

Buka Buku 19: RAINHA DA JAPARA, SENHORA PONDEROSA E RICA

Standar

 

DARI SAMUDERA PASAI KE YOGYAKARTA

Aku ingin menuliskan dalam novelku, kisah Ratu Kalinyamat yang bukan hanya dikenal sebagai seorang perempuan dengan rambut panjang yang bertapa telanjang.

Aku justru ingin mengenangnya sebagai seorang perempuan berjiwa pemberani yang mampu melakukan tindakan besar. Bahkan dari tindakan itu kemudian membuatnya dikenang sebagai perempuan pemberani, yang anggun sekaligus agung. Yang itu semua bermula dari tatapannya pada sebuah kapal, yang pada waktu kecil dilihatnya teronggok di tepian pantai Jepara.

Kapal kayu jati besar berlapis pelat baja tebal, yang selamat kembali ke Jepara setelah bertempur mati-matian di lautan Malaka. Pertempuran yang sangat tidak seimbang, dengan kekuatan persenjataan Portugis yang lebih lengkap, berikut penemuan meriam besarnya. Membuat kapal perang Demak hanya menjadi bulang-bulanan di tengah lautan, ketika dihujani meriam dari bukit benteng pertahanan.

Kapal Demak peninggalan tahun 1512, ketika Pati Unus memimpin penyerangan terhadap Portugis yang tengah menjajah Malaka. Dan melakukan monopoli perdagangan di selat Malaka, hingga membuat terhalangnya jalur perdagangan ke benua utara yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.

Kebencian pada Portugis yang sepanjang perjalanannya selalu menebarkan peperangan, membuat Pati Unus berniat mengusirnya dari Malaka. Tentu agar tak masuk merangsek ke perairan nusantara, khususnya Kesultanan Demak, setelah menghancurkan Kesultanan Malaka, dan juga Kesulatanan Pasai.

Ratu Kalinyamat yang sejak kecil telah berada di Jepara, terpesona dengan kapal tua itu. Kapal yang konon, atas perintah Pati Unus sendiri sengaja tak boleh diperbaiki, dibiarkan apa adanya, seolah sebagai prasasti tentang penyerangan Demak ke Malaka. Sebuah monumen keberanian dan keperkasaan Demak dalam menghadang keangkaramurkaan Portugis.

Kapal yang dalam pandangan Ratu Kalinyamat membuat jiwanya terpanggil untuk meneruskan semangat Pati Unus. Hingga setelah beranjak dewasa dan berkuasa atas Demak dan juga Jepara, benar-benar ingin meneruskan amanat Sultan Demak kedua itu. Yakni menjaga ketentraman dan keamanan Jawa, dari serangan Portugis yang hendak menjarah rempah-rempah nusantara.

Maka setelah pergolakan kekuasaan di Demak reda, pasca mangkatnya Prawoto dan juga Penangsang, Ratu Kalinyamat menunjukkan kehebatannya. Menjadi seorang perempuan yang mampu memajukan Jepara sebagai kota pelabuhan yang ramai sebagai jalur perdagangan, berikut galangan-galangan kapalnya yang terkenal, juga berkuasa mengembalikan kejayaan Demak di bidang kelautan. Tentu setelah Demak runtuh akibat pergolakan, dan takhta pun kemudian dipindah oleh Joko Tingkir ke Pajang di pedalaman selatan, yang menjadi semakin abai dengan bidang kelautan.

Maka tercatat dalam sejarah, Ratu Kalinyamat berhasil  memulihkan kejayaan maritim Demak di Jepara. Hingga setahun setelah pergolakan Demak, yakni pada tahun 1551, Jepara mampu memberangkatkan 40 kapal perangnya ke Malaka, dengan kekuatan 5.000 prajurit. Membantu Kesultanan Johor yang hendak menggempur Portugis yang telah menghancurkan kerajaannya dengan total 200 kapal perang.

Peperangan yang kembali gagal untuk mengusir Portugis. Bahkan 200 prajurit Jepara gugur di lautan. Hampir seluruh perbekalan dan persenjataan jatuh ke tangan musuh. Dan ketika tiba-tiba badai datang, 20 kapal perang Jepara terdampar di pantai dan menjadi jarahan Portugis. Tak lebih dari separoh kapal yang bisa menyelamatkan diri dan kembali ke Jepara.

Namun walau telah mengalami kegagalan, Ratu Kalinyamat tidak patah arang. Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1574, Jepara telah berhasil memulihkan kekuatan. Penyerangan ke Malaka yang bekerja sama dengan Kesultanan Aceh kembali digelar. Dengan armada yang jauh lebih besar, yakni 300 kapal layar. Berikut ribuan prajurit pilihan, yang dilengkapi perbekalan mesiu dan meriam.

Tapi karena terjadi keterlambatan sampai di Malaka, akhirnya penyerbuan pun mengalami kegagalan kembali. Sebab ketika armada perang Aceh tengah mulai menggempur Portugis, kapal dari Jepara tak kunjung datang. Padahal dalam berita Portugis, seandainya prajurit Aceh dan Jepara waktu itu bersama-sama menyerang, maka kehancuran Portugis di Malaka tak bisa dihindarkan. Hingga ketika pasukan Jepara sampai Malaka, kembali menjadi bulan-bulanan Portugis.

Begitulah salah satu penggal kisah Ratu Kalinyamat, yang sempat kubaca dari buku “Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta”. Sebuah buku kumpulan tulisan dari pakar-pakar sejarah sebagai persembahan bagi Teuku Ibrahim Alfian, ketika sang sejarawan itu berulang tahun ke 70, pada tahun 2000.

Maka menurutku, dari 2 kali penyerangan ke Malaka tersebut, membuktikan bahwa Ratu Kalinyamat adalah seorang perempuan yang hebat dan sangat berkuasa. Sebab meskipun gagal menggempur Portugis, sesungguhnya orang-orang Portugis sendiri mengakui kebesarannya. Dalam bukunya “Da Asia”, Diego de Couto meberikan gelar “Rainha da Japara, senhora ponderosa e rica”, yang berarti Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa. Sementara dari sumber Portugis resmi, diberinya julukan “De Kranige Dame”, atau seorang perempuan yang pemberani.”

Sebuah gelar dan julukan penuh penghormatan, yang justru datang dari pihak lawan. Maka sungguh aneh kalau kita sendiri, malah mengenangnya hanya sekadar sebagai seorang perempuan berambut panjang yang bertapa telanjang. Apa ini bukan justru penghinaan, bahkan pelecehan?

oleh Nassirun Purwokartun pada 24 Juli 2011 pukul 11:29

Buka Buku 18: Tentang Perempuan Rambut Panjang Yang Bertapa Telanjang

Standar

 

PERANAN RATU KALINYAMAT DI JEPARA PADA ABAD XVI

Bertapa telanjang di bukit Danaraja, hanya menutup tubuh dengan rambut panjangnya. Itulah yang terkenang dalam ingatan kita tentang Ratu Kalinyamat.

Sosok Ratu Kalinyamat sangat berperan penting dalam konflik Demak. Karena dialah yang berperan dalam kekerabatan Demak, setelah kematian ayahnya, Sultan Trenggono. Dia juga yang turut mendampingi Prawoto, adiknya yang buta dan sakit-sakitan, yang kemudian diangkat menjadi Sultan Demak keempat.

Maka ketika Prawoto terbunuh, dan yang dituduh adalah Penansang, kemarahan Ratu Kalinyamat pun sangat menggelora. Kemudian ditambah dengan kematian suaminya, Hadiri, yang konon juga dibunuh oleh Penangsang, membuat perempuan itu pun memendam dendam. Hingga kematian Penangsang pun sangat diinginkannya. Bara kesumat yang kemudian melegenda dalam ingatan orang Jawa.

“Ratu Kalinyamat semakin sedih, karena adiknya baru saja meninggal, kemudian suaminya. Kemudian ia bertapa telanjang di bukit Danaraja. Rambutnya diurai sebagai penutup badannya. Dan bersumpah, tidak akan memakai busana selama hidupnya,  jika Penangsang belum meninggal.” Begitu Babad Tanah Jawi mengisahkan.

Sementara dalam Babad Demak, tertulis dalam tembang Pangkur (yang terjemahannya adalah), “Ratu Kalinyamat meninggalkan rumah untuk bertapa di atas bukit. Bertapa telanjang berkain rambut di atas gunng Danaraja. Dan bersumpah tidak akan memakai kain, sebelum memperoleh keadilan Tuhan, atas meninggalnya saudara dan suaminya.”

Karena tokoh Ratu Kalinyamat berperan penting, maka aku pun memperdalam pengetahuanku tentangnya, sebagai bekal menulis novelku. Dari beberapa catatan, Ratu Kalinyamat adalah putri sulung Sultan Trenggono yang bernama asli Retno Kencono. Mendapat sebutan Ratu Kalinyamat karena dia berkuasa atas Jepara, dengan membangun keraton di Kalinyamat.

Sejak kecil dia dibesarkan di Jepara, dalam asuhan neneknya, Ratu Asyiqah. Neneknya itu adalah istri Raden Patah yang juga anak dari Sunan Ampel. Yang dari rahimnya melahirkan Trenggono dan juga Pati Unus. Konon sebelum Pati Unus menjadi Sultan Demak, dia pun pernah menjadi adipati Jepara. Dan ketika menjadi Sultan, Jepara diserahkan pada Ratu Kalinyamat dan suaminya, Hadiri.

Karena Ratu Kalinyamat dididik langsung oleh anak Sunan Ampel pastilah warna Islam yang ada dalam pola asuhnya. Kehidupan menjadi seorang muslim tentu telah menjadi bagian hidupnya sejak kecil. Maka aku menjadi meragukan kisah yang ada dalam Babad Tanah Jawi, tentang Ratu Kalinyamat yang bertapa telanjang itu.

“Apakah wajar dendam seseorang yang paham agama, ketika ditinggal mati adik dan suaminya bisa membuatnya bertindak melanggar norma? Dari seorang muslimah menjadi hilang kesusilaan dan melecehkan kehormatannya?” Begitu yang kemudian berkecamuk dalam pikiranku.

Dan penasaran itu sedikit terobati ketika membaca buku “Perananan Ratu Kalinyamat di Jepara pada Abad XVI”. Sebuah buku terbitan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2000, yang juga salah satu bagian dari Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional (Proyek PKSN).

Dalam buku itu sempat diulas bahwa “tapa wuda sinjang rema” (bertapa telanjang berkain rambut) hanyalah kisah kiasan belaka. Bahwa Ratu Kalinyamat adalah seorang bangsawan kaya raya, sebagai penguasa Jepara yang telah menjadi pelabuhan utama Demak. Namun dengan kekisruhan yang berlangsung di Demak, dengan korban adik dan suaminya, ia sangat prihatin. Untuk itulah ia butuh merenungkan semua yang terjadi dalam perebutan takta peninggalan ayahnya tersebut.

“Wuda” dalam bahasa Jawa tidak hanya bermakna telanjang. Tetapi dapat juga berarti kiasan dari tidak memakai barang-barang perhiasan dan pakaian kebesaran. Maka “telanjang” dalam bertapanya Ratu Kalinyamat adalah ia ingin melepaskan semua “perhiasan-pangkat-jabatan-keningratan” yang selama ini melekat padanya. Ia akan mencoba melepaskan semua, dan meminta petunjuk pada Yang Kuasa.

Dan dengan melepaskan beban itulah, ia bisa berpikir jernih. Karena dengan kekisruhan yang melanda Demak, ia merasa harta dan takhta yang ada pada dirinya tak membantu banyak. Maka ia pun melepaskan semuanya. Telanjang dari harta dan takhta.

oleh Nassirun Purwokartun pada 23 Juli 2011 pukul 15:48

Buka Buku 17: Kisah Tragis Kematian Trenggono

Standar

 

KERAJAAN DEMAK

Dengan menulis, maka kita akan banyak belajar.

Dulu kalimat itu hanya kuanggap sekadar kata mutiara. Namun sekarang kurasakan kebenarannya. Sebab hanya untuk menuliskan sebuah novel “Penangsang” saja, aku jadi harus membaca puluhan buku. Dan dari proses pembacaan itu, aku mendapatkan banyak pengetahuan. Itulah pembelajaran.

Karena novel yang kutulis ini bermula dari kisah terbunuhnya Sultan Trenggono, maka aku pun mencari keterangan perihal peristiwa tersebut. Paling tidak kronologi kejadiannya, serta penyebab kematiannya. Karena konon berbeda dengan raja Demak sebelumnya, yang meninggal di dalam kerajaannya.

Raden Patah, raja pertama yang naik takhta di usia 23 tahun, meninggal karena usia tua, 63 tahun, setelah memimpin selama 40 tahun. Sementara penggantinya, Pati Unus hanya memimpin selama 3 tahun, karena wafat di usia muda (21 tahun) disebabkan sakit yang dideritanya. Sedangkan kematian Sultan Trenggono berada jauh dari Demak. Ia meninggal di medan peperangan sebagai seorang panglima. Konon di depan benteng Panarukan, ketika hendak menaklukkan Blambangan.

Meninggal dalam pertempuran, begitulah keterangan yang pertama kudapatkan. Maka bayanganku pun, meninggal ketika berperang, bertarung dengan musuh, atau terbunuh oleh lawan. Entah karena tertusuk tombak, atau tertikam pedang, bahkan mungkin terkena serbuan anak panah.

Maka aku sempat tidak percaya, ketika dalam novel “Arus Balik” karya Pramoedya Ananta Toer, justru kubaca bahwa terbunuhnya Trenggono karena ditusuk keris oleh seorang bocah. Anak kecil yang dalam cerita Pram, adalah sahabat akrab Gelar, anak Wiranggaleng, tokoh utama novel itu. Dia membunuh Trenggono di dalam tenda pasukannya. Dan Gelar lah yang menyuruh anak itu, karena dia ingin membalaskan dendam ayahnya pada Trenggono.

Aku menganggap aneh cerita Pram, karena benar-benar membuyarkan bayanganku tentang kisah kematian dalam medang pertempuran. Hingga lama juga aku menyimpan penasaran tentang kisah itu. Sebab bagaimana pun, meski novel “Arus Balik” adalah novel sejarah, atau novel dengan latar sejarah, tetap saja ia merupakan karya fiksi. Bukan buku sejarah, yang bisa dipercaya kebenaran sejarahnya. Jadi bisa saja, kisah kematian Trenggono hanyalah imajinasi seorang Pram yang sinis pada sosok Trenggono. Apalagi dalam novel itu sangat jelas terlihat pandangannya yang sebelah mata terhadap Demak.

Sampai kemudian aku mendapatkan buku lama di kios loakan, sebuah manuskrip karya Gusti Raden Ayu Brotodiningrat. Dalam bentuk fotokopian dengan tulisan ketikan tangan, berjudul “Kerajaan Demak” yang sepertinya belum pernah diterbitkan. Buku tipis setebal 60 halaman yang menggunakan bahasa Jawa sebagai penuturannya. Berisi lengkap tentang sejarah Demak, sejak berdiri hingga keruntuhannya, mulai diperintah oleh Raden Patah sampai dengan Sunan Prawoto.

Dalam buku itu, kisah kematian Trenggono tertulis jelas kronologis dan penyebab kematiannya. Namun karena ada beberapa istilah Jawa yang aku belum paham, aku pun sempat bertanya pada beberapa orang. Bahkan buka kamus segala untuk sekadar mencari kata dan istilah tersebut.

Dan inilah kejadian pembunuhan itu, setelah kuterjemahkan semampuku.

“Pada suatu kali Sultan Trenggono menggelar pertemuan dengan para pemimpin prajurit untuk menyerang benteng Panarukan. Ia sudah mendapatkan bekal keterangan yang diperoleh dari prajurit Panarukan yang saat itu telah menjadi tawanan Demak.

Di sela-sela pembahasan, Sultan Trenggono meminta pada pembantunya untuk mengambilkan pinang-sirih kegemarannya. Namun pembantunya yang masih bocah itu seolah tidak mendengarnya, karena sedang turut memperhatikan pembicaraan yang tengah berlangsung seru dalam pertemuan tersebut.

Sampai berulang Sultan Trenggono memanggil pembantunya itu. Hingga ada seorang pemimpin pasukan yang duduk dekat si pembantu, mengulang perintah Sultan Trenggono dan menyampaikannya. Barulah bocah laki-laki itu datang mendekat membawakan nampan pinang-sirih pada sang Sultan.

Karena kesal perintahnya tidak segera didengar, Sultan Trenggono memukul lirih kepala si bocah. Pukulan ringan sekadar peringatan agar lebih bisa memperhatikan permintaannya, sebagai tugas yang telah menjadi tanggungjawabnya.

Namun bocah berusia sepuluh tahun itu justru merasa malu dan marah dengan pemukulan itu. Mendadak dicabutnya sebilah golok dari ikat pinggangnya. Dan ditikamkannya dengan keras ke dada Sultan Trenggono. Sultan Demak pun terjengkang dengan dada bersimbah darah.”

Kisah itu pula yang kemudian kutulis dengan dramatis dalam novelku.

Dan kisah itu pula yang kemudian banyak yang menanyakan kebenarannya padaku. Persis seperti ketidak percayaanku dulu pada kisah yang tertulis di novel “Arus Balik”. Karena bagaimana pun, novel “Penangsang” adalah karya fiksi. Jadi sangat wajar kalau ini pun dianggap sebagai sekadar imajinasi.

Namun setelah ada yang meragukan, bahkan berpendapat bahwa kisah itu pun sebenarnya hanya cerita kiasan, aku sekarang jadi tambah penasaran. Dan makin semangat lagi untuk lebih banyak belajar. Karena aku sudah meyakini, menulis memang benar-benar belajar.

oleh Nassirun Purwokartun pada 23 Juli 2011 pukul 7:53

Buka Buku 16: ‘Ibratun Li Ulil Albab

Standar

 

MENEMUKAN SEJARAH

Secara terminologis, kata ‘sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun’ yang berarti pohon.

Secara istilah saja, kata ini memberikan gambaran sebuah pertumbuhan peradaban manusia dengan perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh bermula dari biji yang kecil menjadi pohon yang lebat rindang dan berkesinambungan.

Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran dari pesan-pesan sejarah di dalamnya, memerlukan kemampuan menangkap yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya. Seperti yang tersurat dalam Q.S. 12: 111, “laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil albab”. Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan sejarah yang penuh perlambang, bagi orang-orang yang memahaminya.

Sementara, pengertian sejarah bagi sementara orang hanyalah dianggap sebagai pelajaran hafalan tentang peristiwa yang pernah terjadi, dan tidak akan pernah terulang kembali. Sebagai suatu peristiwa yang telah selesai, yang berhenti sampai saat dan di tempat itu saja. Hingga tak heran kemudian sering kita mendengar orang berpesan, “Yang sudah berlalu biarlah berlalu, lupakan saja biar menjadi sejarah.”

Barangkali sukarnya  memahami arti “sejarah” di kalangan ummat Islam, juga disebabkan tidak digunakannya istilah ini di kalangan ummat Islam sendiri. Salah satunya, karena di pesantren atau pun madrasah yang digunakan justru istilah “tarikh”. Padahal dalam Al-Qur’an peristiwa sejarah ini lebih dikaitkan dengan masalah pemaknaan “syajarah”.

Al-Baqarah: 23, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”

Al-A’raf: 10, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”

Al-A’raf: 22, “alam anhakuma ‘an tilkumasy syajarah.”

Ibrahim: 24, “masalan kalimatan thayibatan kasyajaratin thayyibah.”

Ibrahim: 26, “wa mansyalatu kalimatin khabisyatin kasyajaratin khabisyah.”

Al-Isra: 60, “syajaratul mal’unah.”

Thaha: 120, “ya adamu hal adulluka ‘ala syajaratil khuldi.”

Al-Mu’minun: 20, “wa syajaratan takhruju min thurisaina.”

An-Nur: 35, “min syajaratin mubarakah.”

Al-Qashash: 30, “fi buq’atil mubarakati minasy syajarati ayya Musa.”

Maka sesungguhnya, dari petunjuk Al Qur’an di atas, pengertian “syajarah” berkaitan erat dengan “perubahan”. Perubahan yang bermakna “gerak” menuju ke bumi untuk menerima dan menjalankan fungsi sebagai “khalifah” (Q.S. 2: 35 dan Q.S. 7: 19, 22).

Juga merupakan sebuah penggambaran keberhasilan yang dicapai Nabi Musa yang diibaratkan sebagai pohon yang tinggi dan tumbuh di tempat yang tinggi (Q.S. 28: 30). Sebaliknya, Al-Qur’an juga memberikan gambaran kegagalan Nabi Yunus yang dilukiskan sebagai ‘pohon labu’ yang rendah dan lemah (Q.S. 37: 146).

Sementara bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah, hasilnya hanyalah akan menumbuhkan sebatang ‘pohon pahit’ (Q.S. 37: 62, 64 dan Q.S. 44: 43.). Namun ketika petunjuk Allah digunkan sebagai pedopan, ia diibaratkan sebagai ‘pelita kaca yang bercahaya seperti mutiara’ dan dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin mubarakah (Q.S. 24: 35)

Begitulah pembahasan pentingnya belajar membaca sejarah yang diambil dari dalil Al-Qur’an. Sebuah pelajaran berharga yang  kudapatkan dari sebuah buku yang pernah kubaca 16 tahun lalu. Buku lama berjudul “Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia” karya Ahmad Mansyur Suryanegera.  Buku yang kemudian membuatku mengenal sosok seorang sejarawan yang konsen dengan sejarah Islam di Indonesia yang cenderung dilupakan dari ingatan.

Yang karena buku itu pula, aku menjadi terpantik untuk menuliskan ulang tentang sejarah keruntuhan Kesultanan Demak dalam novel Penangsang. Dan Prof Ahmad Mansyur Suryanegara, pakar sejarah dari Universitas Pajajaran yang telah membukukan penemuan sejarahnya dalam 2 jilid tebal berjudul  “Api Sejarah” itu pun mendukung niatanku.

Bahkan kemudian memberikan komentar dalam novel keduaku, “Peristiwa sejarah seperti Penangsang perlu dikaji ulang oleh banyak pencinta sejarah karena di dalamnya terdapat pelajaran dan contoh-contoh yang bisa membuat pembaca kuat hatinya. Penangsang, perjalanan sejarahnya telah banyak ditulis setiap penulis dengan berbagai versi. Novel ini juga merupakan salah satu versi penulisan yang memperkaya tentang perjalanan sejarah Penangsang.”

Maka aku menjadi yakin sekarang, bahwa dengan belajar sejarah kita menjadi bisa berkaca, untuk tidak salah arah dan salah langkah. Dan dengan menuliskan Penangsang, aku kembali mengeja kisah yang kadang terlupakan, yang tidak tersurat, namun tersirat dalam “syajaratun”.  Sekaligus juga usaha untuk terus ‘menemukan’ tafsir ulang sejarah.

oleh Nassirun Purwokartun pada 18 Juli 2011 pukul 23:00

Buka Buku 15: Mengeja Makna Di Balik Legenda Walisanga

Standar

SEKITAR WALISANGA

“Setiap bentuk dan bagian bangunan yang ada di masjid Demak ini, semua mengandung makna dan pelajaran kehidupan,” begitu ucap juru kunci Masjid Agung Demak, ketika aku ke sana, untuk melihat makam Penangsang.

Dan lelaki itu pun menerangkan beberapa bentuk bagian bangunan yang dimaksudkan. Terutama adalah perihal saka tatal yang sangat terkenal fenomenal. Tiang utama masjid Demak yang salah satunya konon hasil karya Sunan Kalijaga, yang dibuat dengan mengumpulkan bilahan-bilahan kayu yang tidak terpakai. Bilah-bilah yang ditata rapi membentuk tiang, dan diikat menggunakan tali dari jalinan rumput.

“Kumpulan tatal-tatal itu memberikan pelajaran tentang kesatuan. Bahwa dengan bersatu, ummat Islam bisa maju. Sementara ikatan tali itu melambangkan tentang perlunya berpegang pada tali Allah. Karena dengan tali Allah yang kuat, maka manusia akan selamat dunia akhirat,” demikian ia melanjutkan.

Ketika mendengarkan pemaparan itu, ingatanku jadi terkenang pada sebuah buku yang pernah kubaca. Buku tua berjudul “Sekitar Walisanga” karya Solihin Salam, yang terbit pertama tahun 1960. Buku yang secara tidak langsung memberikan pemahaman awal untuk tidak menelan begitu saja legenda yang ada ddalam kisah Walisanga. Salah satunya adalah tentang saka tatal, dan juga penentuan arah kiblat.

Bahwa konon masjid Demak sudah berdiri, namun ternyata para wali masih berdebat tentang arah kiblat. Karena soal penentuan itu tidak dibahas sebelum membangun. Mereka saling mengajukan pendapat, sementara masjid sudah berdiri. Perdebatan pun riuh, karena terjadi banyak pendapat yang saling bertentangan. Namun, kemudian dengan bijak Sunan Kalijaga tampil memberikan penyelesaian. Sunan Kalijaga bersedia menentukan arah kiblat, dengan cara tangan kanan memegang Ka’bah di Makkah sementara tangan kirinya memegang puncak masjid Demak.

Peristiwa itu mestinya jangan dipahami begitu saja kejadiannya, begitu buku itu mencoba menerangkan. Bahwa ternyata, kisah yang melegenda itu pun sebuah kiasan yang sarat pemaknaan pembelajaran. Bahwa perihal perdebatan soal kiblat, adalah perlambang dari persoalan iman. Sebab kiblat Ka’bah adalah tempatnya orang muslim menghadapkan wajah ketika shalat. Sedangkan masjid Demak menjadi perlambang orang Islam di Jawa. Sementara puncak masjid Demak dimaksudkan sebagai pemukanya pamong praja, atau penguasa.

Dengan demikian, kisah tersebut diartikan bahwa Islam yang bermula dari Makkah, harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat Islam di Jawa dalam permulaan perkembangannya. Dan dengan berdirinya masjid agung Demak, yang akan menjadi pusat penyebarannya. Dengan kesultanan Demak sebagai penguasa yang akan menjadi pelindungnya.

Kisah lainnya lagi adalah tentang baju Ontokusumo yang dalam legenda merupakan baju pemberian Nabi Muhammad yang dibungkus dengan kulit kambing. Yang telah dipakai oleh beberapa wali, namun ada yang terlalu longgar, dan ada yang terlalu sesak. Namun ketika dipakai oleh Sunan Kalijaga, baju itu ternyata sangat pas di badannya.

Legenda itupun katanya, haruslah dimaknai bahwa baju Ontokusumo tersebut adalah agama Islam  itu sendiri. Dikatakan sebagai bekas pakaiannya Nabi Muhammad, artinya dahulu yang membawa risalah ajaran Islam itu adalah Nabi Muhammad. Dan dibungkus kulit kambing maknanya adalah ajaran Islam itu sangatlah sederhana, hingga penyampaiannya pun dengan penuh kesederhanaan.

Lalu perihal banyak wali yang memakai namun tidak cocok, digambarkan sebagai metode pengajaran yang tidak tepat bagi rakyat Jawa. Dan barulah ketika Sunan Kalijaga yang menyebarkan dengan caranya yang tidak longgar dan tidak ketat, menjadi tepat dengan budaya masyarakat Jawa. Sebuah kisah yang ketika kubaca seolah lebih pada pemujaan terhadap Sunan Kalijaga.

“Jadi jangan menelan mentah-mentah cerita tentang para ulama, selalu ada makna yang terkandung di dalamnya. Dan baju Ontokusumo itu adalah makna untuk menjaga ajaran Islam di Jawa, dan itu bukan sebuah pusaka yang harus dijaga atau bahkan dikeramatkan. Tapi sebuah syiar yang harus kita selalu sebarkan.”  Demikianlah pesan juru kunci masjid Demak ketika aku hendak berpamitan.

Dan mendadak, dalam kenanganku teringat pada baju Ontokusumo yang dimaksudkan. Yang masih sekarang tersimpan di keraton Jogja, yang konon selalu dipakai oleh raja dalam perayaan Sekatenan.

oleh Nassirun Purwokartun pada 17 Juli 2011 pukul 9:43

Buka Buku 14: Anak Istri Sunan Gunung Jati

Standar

 

MENINJAU SEPINTAS PANGGUNG SEJARAH PEMERINTAHAN KERAJAAN CERBON 1479-1809

Setelah banyak menemukan sumber yang lebih terpercaya, aku semakin meyakini bahwa Sunan Gunung Jati dan Fatahillah adalah orang yang berbeda.

Untuk kepentingan penulisan novelku, aku pun memperdalam lagi pengetahuanku tentang sosok Sunan Gunung Jati. Dari silsilah ke atas, aku temukan bahwa ternyata dia adalah cucu prabu Siliwangi. Ibunya, Nyai Lara Santang adalah putra Raja Pajajaran dari istri yang bernama Nyai Subang Larang.

Nyai Lara Santang, yang setelah berhaji berganti nama menjadi Syarifah Mudaim, kemudian diperistri Syarif Abdullah, bangsawan Arab. Dari perkawinan ini mempunyai 2 orang anak, salah satunya adalah Syarif Hidayatullah. Anak laki-laki inilah yang setelah remaja kemudian pulang ke Cirebon, dan kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Karena sosok Sunan Gunung Jati sangat terlibat dalam kisah yang bergolak di Demak, aku makin tertarik mengetahui lebih lanjut tentang silsilahnya, berikut hubungannya dengan keraton Demak. Maka aku pun merunut jalinan tersebut, mengapa Sunan Gunung Jati bisa demikian berpengaruh di Demak.

Hal itu kemudian kutemukan, karena selain menjadi Dewan Wali, dia pun ternyata menjalin pernikahan dengan keluarga Demak. Baik Sunan Gunung Jati sendiri, maupun anak-anaknya. Hingga terjadilah hubungan kekeluargaan antara Cirebon dan Demak yang sangat erat.

Dalam catatan sejarah yang kudapatkan dari buku “Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809”, Sunan Gunung Jati tercatat pernah mempunyai 6 orang istri.

Istri yang pertama adalah Nyai Ratu Kawunganten, putri bupati Kawunganten Banten. Darinya, Sunan Gunung Jati mempunyai 2 orang anak. Yakni Nyai Ratu Winahon dan Maulana Hasanudin, yang kemudian menjadi Sultan Banten. Hubungan dengan Demak terjalin karena Maulana Hasanuddin sendiri, menikahi salah seorang putri Sultan Trenggono, raja Demak ketiga.

Lalu dari istri yang bernama Nyai Babadan, anak Ki Gedeng Babadan, Sunan Gunung  Jati mempunyai dua anak juga. Yakni Pangeran Trusmi dan Ratu Martasari.Setelah itu Sunan Gunung Jati juga menikahi putri pamannya, Pangeran Cakrabuwana, yang bernama Nyai Ratu Dewi Pakungwati. Namun sang istri wafat ketika dalam peristiwa terbakarnya Masjid Agung Sang Ciptarasa dan tidak melahirkan keturunan. Istri berikutnya adalah Putri Ong Tien, putri seorang pembesar Cina, namun juga tidak mendapatkan anak.

Istri yang lain adalah Nyai Ageng Tepasari. Putri Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit yang telah menjadi keluarga Demak setalah Majapahit runtuh. Seorang perempuan yang dinikahinya di Demak, bersamaan dengan kedatangannya dalam pembangunan Masjid Demak. Dan inilah konon awal dari hubungan kekeluargaan antara Demak dan Cirebon mulai terjalin.

Dari Nyai Ageng Tepasari, Sunan Gunung Jati mendapatkan 2 orang anak, yakni Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Pasarean. Dan hubungan makin terjalin erat dengan Demak, karena Ratu Wulung Ayu pun menikah dengan Pati Unus yang kemudian menjadi raja Demak kedua menggantikan ayahnya, Raden Patah. Sementara Pangeran Pasarean juga menjalin hubungan keluarga dengan Demak, karen menikai putri Raden Patah yang lain, Ratu Nyawa, yang sebelumnya adalah janda dari Pangeran Bratakelana, anak Sunan Gunung Jati juga namun dari istri lainnya.

Sementara dari pernikahannya dengan Nyai Lara Baghdad, putri Maulana Abdullrahman Al-Baghdadi, Sunan Gunung Jati mendapatkan 2 orang anak juga. Yang pertama adalah Pangeran Jayakelana, yang menikah dengan keluarga Demak juga, putri Raden Patah yang bernama Ratu Pembayun. Sementara putra kedua, Pangeran Bratakelana, juga menikah dengan anak Raden Patah yang lain, yakni Ratu Nyawa. Yang setelah kematiannya dalam pertarungan melawan bajak laut sepulang dari Demak, kemudian diperistri oleh saudaranya, Pangeran Pasarean.

Jadi pahamlah aku kemudian, mengapa Demak dan Cirebon mempunyai hubungan dekat. Yang pertama tentu karena kesamaan kedudukannya. Demak adalah penerus dari takhta Majapahit yang telah hancur, dan Cirebon yang  adalah penerus dari takhta Pajajaran yang telah runtuh. Raden Patah adalah keturunan dari Kertabumi, raja Majapahit terakhir, sementara Sunan Gunung Jati adalah cucu dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran terakhir.

Yang berikutnya adalah karena Sunan Gunung Jati termasuk Dewan Wali dari Kesultanan Demak, yang bertanggungjawab atas jalannya pemerintahan. Hal itulah yang makin menguatkan posisi Sunan Gunung Jati di Demak. Tentu saja selain karena telah terjadinya pernikahan antara Cirebon dan Demak.

oleh Nassirun Purwokartun pada 16 Juli 2011 pukul 19:56

Buka Buku 13: Misteri Asmara Istri Sunan Kudus

Standar

 

JA’FAR SHADIQ, SUNAN KUDUS

Sampai hari ini, aku masih penasaran dengan salah satu adegan kethoprak, yang mengisahkan tentang istri Sunan Kudus.

Dalam adegan itu, Sunan Kudus yang menyimpan keris Kyai Brongot Setan Kober tengah ditipu oleh Raden Bagus Mukmin. Dikatakan bahwa sang Sunan diundang untuk datang ke Demak. Akhirnya Sunan Kudus pun meninggalkan Panti Kudus.

Dan saat itulah utusan Mukmin, yakni Pangeran Hadiri, datang ke Panti Kudus. Lelaki muda itu menemui istri Sunan Kudus, dengan alasan hendak meminjam Kyai Brongot Setan Kober. Mukmin dan Hadiri sengaja berkomplot menipu Sunan Kudus, karena kalau memintanya secara langsung pasti tidak akan didapatkan. Sebab keris itu memang tengah menjadi sengketa dengan Pangeran Sekar.

Yang mengusikku sampai hari ini, adalah adegan ketika Hadiri meminjam keris Setan Kober. Karena istri Sunan Kudus digambarkan begitu genitnya. Bahkan untuk membawa keris itu dari Panti Kudus, Hadiri harus membayarnya dengan bermain asmara dengannya terlebih dulu.

Sampai sekarang, aku masih penasaran dengan adegan itu. Apakah demikian mesumnya istri seorang ulama penyebar Islam yang dikenal sangat lurus itu? Meskipun sempat terbersit juga, bahwa bagaimanapun istri Sunan adalah manusia juga. Tapi apa demikian bejatnya, hingga istri ulama harus berzina dengan seorang pemuda yang digambarkan sangat lugu dalam bercinta?

Atau hal itu pun pun merupakan salah satu dari penghitaman sejarah terhadap sosok Sunan Kudus? Sosok yang tidak disukai oleh penguasa yang memenangkan perebutan takhta atas Demak. Lalu dari mana para pemain kethoprak itu mengambil dasar ceritanya, padahal di Babad Tanah Jawi pun tak kutemukan kisah amoral tentang hal itu.

Dan sampai hari ini, aku tak menemukan jawabnya.

Hanya yang kutemukan kemudian, bahwa ternyata Sunan Kudus tercatat mempunyai 2 istri. Seorang yang kemudian menurunkan anak bernama Amir Hasan, adalah putri Sunan Bonang yang bernama Dewi Ruhil. Sementara yang istri kedua adalah anak dari Pecattandha Terung Majapahit, yang darinya Sunan Kudus mendapatkan 8 orang anak.

Delapan anak itu konon bernama Nyi Ageng Pembayun, Panembahan Mekaos Honggokusumo, Panembahan Kodhi, Panembahan Karimun, Panembahan Joko, Ratu Pakojo, dan Ratu Prodobinabar. Yang dari delapan anak Sunan Kudus itu, hari ini kita dapat temukan empat makamnya berada di sekitar makam Sunan Kudus.

Namun yang menarik dari istri Sunan Kudus ini, adalah pada silsilahnya. Yakni karena dia adalah putri dari Pecattandha Terung. Padahal dalam sejarah masa silam, Sunan Ngudhung, ayah Sunan Kudus yang menjadi panglima Demak justru terbunuh oleh Pecattandha Terung sang panglima Majapahit.

Majapahit yang telah berada dalam kekuasaan Girindrawardhana, hendak menggempur Demak, karena tak suka dengan keberadaannya yang semakin jaya. Namun dengan kekuasaannya yang makin lemah, Girindrawardhana merasa tak mampu menghancurkan Demak. Untuk itulah Majapahit meminta bantuan Portugis yang tengah berkuasa di Malaka.

Namun sebelum bantuan Portugis datang, Demak sudah lebih dulu menggempur kekuatan Majapahit yang telah pindah ke Kediri. Dan keberhasilan itu adalah berkat kepiawaian seorang Sunan Kudus, yang telah menggantikan ayahnya menjadi panglima Demak.

Dan setelah Majapahit dapat ditaklukkan, Pecatandha Terung turut tunduk, dan ikut ke Demak. Bahkan anaknya diperistri oleh Sunan Kudus. Maka sekarang pun, di sekitar makam Sunan Kudus terdapat makam Pecattandha Terung berikut istri dan anaknya.

Begitulah sedikit tambahan pengetahuan, yang kudapatkan dari sebuah buku lama berjudul ‘Ja’far Shadiq, Sunan Kudus’. Buku karya pengamat sejarah Walisanga, Solichin Salam, yang terbit tahun 1986 oleh Penerbit Menara Kudus. Sebuah hasil penelitian yang kemudian banyak menjadi acuan penulisan tentang sosok Sunan Kudus oleh para penulis buku tentang Walisanga.

Namun karena kemuliaan akhlak Sunan Kudus lah, aku jadi makin meragukan kebenaran adegan dalam kethoprak tentang istri Sunan Kudus. Tentu sambil terus mencari sumber yang lebih meyakinkan.

oleh Nassirun Purwokartun pada 15 Juli 2011 pukul 21:00

Buka Buku 12: Sunan Kudus Versi Babad Tanah Jawi!

Standar

 

Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen 1647

Karena sudah paham, bahwa Babad Tanah Jawi dibuat bukan sebagai buku sejarah, namun sebagai alat legitimasi penguasa, maka yakinlah aku pada kecurigaan yang meragukannya.

Sebab ternyata, Babad Tanah Jawi memang disusun bukan sebagai mana kebenaran sejarah. Tapi lebih pada bagaimana baiknya dan cocoknya sesuai kepentingan penguasa. Maka aku pun makin yakin untuk menuliskan Penangsang, dari sosok yang tersirat pada kisah Babad Tanah Jawi itu.

Tak heran, kalau di Babad Tanah Jawi kita akan menemukan sosok yang dihitamkan dalam sejarah. Salah satunya adalah ketokohan Penangsang dan gurunya, Sunan Kudus.

Sosok Sunan Kudus benar-benar tergambar sebagai tokoh di belakang kiprah Penangsang. Tokoh yang haus kekuasaan dan ambisius, bahkan menempuh segala cara, termasuk jalan keculasan.

Aku membacanya dari “Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen 1647”. Tapi aku tuliskan beberapa petikan di sini, setelah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia saja.

Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran Arya Penangsang. Sunan Kudus berkata pada Arya Penangsang, “Orang membunuh sesama guru itu hukumnya apa?” Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.” Sunan kudus berkata, “Kakakmu di Prawata.” Arya Penangsang setelah mendengar perintah Sunan Kudus bersedia membunuh Sunan Prawata. (Halaman 46)

Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan bernama Ratu Kalinyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu. Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat meminta keadilan pada Sunan Kudus. Jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati kepada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.” Ratu Kalinyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya. Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dirampok utusannya Arya Penangsang. Suaminya dibunuh. (Halaman 47)

Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang dengan Arya Penangsang. Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kalinyamat sudah mati. Tetapi belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah Jawaa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang, saya kira tidak mungkin jadi raja, sebab dia adalah penghalang.” Arya Penangsang berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus, Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang akan saya bunuh supaya tidak jadi penghalang.” Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan merusak  Negara serta banyak korban. Adapun maksud saya, adikmu di Pajang bisa mati secara diam-diam saja, jangan banyak diketahui banyak orang.” Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang. (Halaman 47 – 48)

Setelah mendengar laporan utusannya, Arya Penangsang sangat sedih. Ia lalu memberi tahu Sunan Kudus, bahwa utusannya yang membunuh Sultan Pajang tidak berhasil. “Jika diperkenankan Sultan Pajang sebaiknya dipanggil saja ke Kudus. Berdalih untuk diajak bicara bab ilmu. Jika sudah sampai di sini, mudah untuk membunuhnya.” Sunan Kudus mengabulkan permintaan Arya Penangsang itu. (Halaman 48 – 49)

Itulah beberapa petikan dari Babad Tanah Jawi yang alur ceritanya seolah telah menjadi hafalan bagi orang Jawa, karena seringnya dipanggungkan dalam kethoprak. Suatu cerita, yang aku ragukan kebenarannya, karena mungkin saja ini adalah tindak penghitaman saja dari pihak yang menang.

Apalagi konon, cikal bakal Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa Kartasura itu, sebenarnya sudah dibuat oleh Pangeran Karanggayam atas perintah Joko Tingkir.

oleh Nassirun Purwokartun pada 14 Juli 2011 pukul 11:56

Buka Buku 11: Sastra Magi Babad Tanah Jawi!

Standar

KONSEP KEKUASAAN JAWA

Sejak lama aku dibuat penasaran dengan Babad Tanah Jawi. Salah satunya adalah tentang Penangsang, yang menjadi salah satu kisah bagian di dalamnya. Maka ketika kemudian kunovelkan, semangat yang kuangkat adalah membaca dengan tafsir ulang tentang kitab sejarah kekuasaan di tanah Jawa tersebut.

Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen 1647”. Itulah buku cetakan Babad Tanah Jawi yang pertama kubaca. Yang  artinya “Inilah Sejarah Babad Tanah Jawa Sejak Nabi Adam Hingga Tahun 1647”. Yang pada covernya tertulis juga keterangan “Kaetjap wonten ing Tanah Nederlan Ing Taoen Welandi 1941” yang artinya adalah diterbitkan di Belanda pada tahun 1941.

Buku itu diterbitkan di Leiden oleh penerbit M. Nijhoff s’Gravenhage oleh W.L. Olthof. Sebuah penerbitan yang konon dulunya dimaksudkan bukan untuk maksud kesejarahan, namun untuk membantu calon-calon pegawai kebangsaan Belanda yang akan ditugaskan di Jawa.

Sejak pertama membaca, sebagai orang yang awam sejarah Tanah Jawa, aku mengamini saja apa yang dipaparkan. Bahwa apa yang dituliskan di dalamnya, adalah kronik sejarah yang benar terjadi di Jawa, sejak Nabi Adam hingga jaman Keraton Kartasura. Sebuah paparan sejarah panjang ribuan tahun, yang karenanya mustahil kalau disusun oleh seorang penulis saja. Konon, Pangeran Karanggayam, Pangeran Adilangu II, Tumenggung Tirtawiguna, dan Carik Brajalah yang dianggap sebagai penyusunnya.

Sampai dengan pembacaan selesai, penasaran akan kisah yang terangkai di dalamnya bukan menemukan kepuasan, malah justru semakin meragukan. Apakah benar, begitulah yang sebenarnya terjadi dengan segala kisah yang terbentang? Sebuah kisah, yang menurutku saat itu, lebih pantas dianggap dongeng daripada kisah sejarah yang bisa diyakini kebenarannya.

Lama aku bimbang untuk mempercayai kisah Babad Tanah Jawi dengan begitu saja. Juga untuk menelan mentah-mentah pengagungan dan pengultusan yang sara tertulis di dalamnya. Terutama tentang sosok Joko Tingkir, Panembahan Senopati dan Sultan Agung yang menurutku sarat kisah luar biasa.

Dan kebimbangan itu kemudian mulai menemukan jawabnya. Bahwa ternyata, babad memang berbeda dengan sejarah dalam pengertian biasa. Sebab sejarah lebih memaparkan kejadian seperti apa adanya, sementara babad memaparkan kejadian sebagai mana baiknya. Babad adalah sejarah dalam pengertian tradisional, bukan dalam pengertian modern. Karena itu, untuk mempelajari babad memerlukan sikap kritis yang istimewa. Seseorang yang mempelajari babad dituntut untuk mampu membaca yang tersirat, bukan sekedar mengeja cerita yang tersurat.

Dan paparan itu semakin menguatkanku untuk membaca Babad Tanah Jawi dengan menafsirkan yang tersurat. Sebuah pandangan yang kudapatkan dari buku lama berjudul “Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram.” Buku karya Drs. G Moedjanto terbitan Kanisius tahun 1987 yang menerangkan dengan jelas tentang dinasti Mataram, dari Panembahan Senopati sampai dengan Paku Buwono dan Mangkubumi.

Diterangkan juga dalam buku itu, bahwa ternyata babad ditulis memang bukan untuk maksud sejarah, melainkan sebagai sastra magi, sastra sumber kesaktian raja. Babad ditulis sebagai sarana untuk melayakkan dan memberhakkan kedudukan raja atau keluarga yang memerintah. Dalam bahasa politik, babad ditulis sebagai sarana legitimasi.

Dan diingatkan pula, bahwa orang yang kurang terpelajar menerima babad sebagai kitab sejarah. Akan tetapi mereka yang terpelajar memperlakukan babad sebagai sejarah dalam pengertian tradisional, sebagai hasil penulisan sejarah yang tradisional juga.

Pujangga menulis babad melakukan penulisan sejarah tidak untuk menerangkan apa yang sebenarnya terjadi pada masa lampau. Tetapi mereka menulis apa yang baik atau sebaiknya mengenai masa lalu untuk kelayakan masa kini, yaitu masa pujangga itu ditugaskan oleh raja yang tengah berkuasa. Jadi bagaimana sebaiknya masa lampau itu dipaparkan lebih benting daripada memaparkan bagaimana sebenarnya masa lampau itu terjadi.

Maka setelah meyakini hal itulah, ketakutanku untuk menuliskan novel Penangsang yang membalik kisahnya, seolah mendapatkan darah segar. Bahwa aku akan menulis kisah Penangsang dengan menafsirkan yang tersirat, bukan mengeja yang tersurat dari Babad Tanah Jawi. Bahwa Penangsang bukanlah pemberontak, dan Joko Tingkir tidak lebih berhak atas takhta Demak.

oleh Nassirun Purwokartun pada 13 Juli 2011 pukul 18:58